Indonesia 06-06-11
Paling tidak semenjak akhir periode kekuasaan ORDE BARU kita seringkali mendengar istilah wahyu keprabon. Namun kiranya sedikit saja orang yang betul-betul mengetahui seluk beluk apa itu wahyu keprabon. Sepadan dengan wahyu keprabon adalah wahyu yang begitu kental dalam cerita pewayangan dan dalam tradisi kesusasteraan Jawa. Sebut saja misalnya “wahyu makutharama” yang diberikan kepada para kesatria Pendawa Lima. Bagi siapa yang memegang wahyu makutharama, dialah akan menjadi pemimpin, menjadi kesatria yang membawa berkah agung bagi rakyat yang dipimpinnya. Demikian halnya dengan wahyu keprabon. Siapa yang kesinungan memiliki wahyu keprabon, dialah orang yang kuat “nyunggi drajat”
kepemimpinan tertinggi di negara Republik Indonesia. Dan ada semacam
jaminan dari kekuatan supra satria tersebut akan menjadi pemimpin yang
membawa berkah kemakmuran bagi rakyat yang dipimpinnya. Membawa berkah
agung bagi bangsa yang dikelolanya.
Apa yang dimaksud dengan wahyu? Dalam
terminologi Jawa, wahyu diartikan sebagai sebuah konsep yang mengandung
pengertian suatu berkah Jawatagung atau Tuhan. Lebih konkritnya adalah berkah yang berasal dari mekanisme kebijaksanaan universe
yang diperoleh manusia dengan cara gaib. Datangnya wahyu tidak dapat
dipaksakan, tetapi hanya diperoleh melalui berbagai media, dan hanya
kepada seseorang yang pinilih dan terpilih. Yakni
orang-orang yang kuat memikul derajat tinggi, orang yang memenuhi syarat
dalam hal budi pekerti dan tindak perbuatannya selalu hamemayu hayuning bawana
terhadap alam semesta seluruh seluruh isi penghuninya. Kepada sesama
manusia, mahluk halus, binatang, dan tumbuhan, sebagai refleksi di mana
kesadaran spiritualnya telah berada pada level sejati ning jalma,
manusia sejati. Orang-orang demikian itu yang sikap perbuatannya selalu
selaras dan harmonis dengan hukum keadilan dan keseimbangan alam.
Disebut sebagai manusia berkesadaran kosmologis. Bagi yang memenuhi
persyaratan di atas, seseorang dapat melengkapi daya upaya untuk meraih wahyu keprabon
dengan mesu raga dan mesu jiwa melalui berbagai tradisi seperti
bersemadi, bertapa, tirakan, atau berbagai jalan lain yang berkonotasi
melakukan laku atau perbuatan batin. Tapi tidak setiap kegiatan “laku
batin” itu akan mendapatkan wahyu keprabon karena persyaratan untuk memangku wahyu keprabon
tidaklah mudah. Perlu menata solah dan bowo, serta melalui liku-liku
perjalanan hidup yang berat. Dari berbagai peristiwa yang menimbulkan
suatu penderitaan hendaknya dijadikan sebagai bentuk laku prihatin yakni
dijadikan wahana penggemblengan hidup. Dengan demikian seseorang
dimungkinkan untuk mencapai tataran kesadaran spiritual dengan predikat
tinggi. Berkat kesadaran spiritual yang memadai tersebut, akan terbentuk
budi pekerti (bowo) yang luhur. Budi pekerti luhur bukan
sekedar jargon yang bersifat pedagogik, namun senantiasa disertai dengan
sikap dan perbuatan (solah) yang benar-benar konkrit. Apabila
seseorang dapat memiliki prestasi spiritual sedemikian rupa berarti ia
telah menjadikan dirinya sebagai “media tanam” yang layak bagi
bersemainya “benih” wahyu keprabon.
PUSAKA KEPEMIMPINAN TERTINGGI
Keprabon berasal dari suku kata praba yang berarti sorot cahaya. Dapat bermakna pula aura yang memancar di seputar kepala. Keprabon merupakan sorot aura yang menandakan tingkat keluhuran dan kemuliaan seseorang. Makna khusus keprabon
berarti tahta atau kekuasaan. Bagi seorang yang memiliki kemampuan
melihat gaib atau melihat benda-benda metafisika, tentu akan mampu
melihat pancaran cahaya keprabon yang menyelimuti kepala seseorang pemangku wahyu keprabon. Namun berbeda dengan aura pada umumnya, karena wahyu keprabon ini merupakan ajimat pusaka. Dari warna pancaran cahaya dan terutama getaran energinya dapat dibedakan mana wahyu keprabon mana pula yang bukan wahyu keprabon. Perbedaan paling esensial adalah wahyu keprabon merupakan ajimat pusaka yang memiliki efek terbukanya jalan bagi seseorang untuk memperoleh tahta kekuasaan (baca; kedudukan luhur). Namun bukanlah sembarang kedudukan sebagai pemimpin, karena pusaka wahyu keprabon
dikhususkan untuk memperoleh kedudukan sebagai orang nomer satu alias
Presiden di negeri ini. Barang siapa yang mampu atau kuat memikul
derajat tinggi, serta kesinungan (terpilih) memperoleh wahyu keprabon, itu artinya ia memiliki kesempatan besar menjadi penguasa atau Presiden RI.
Sebut saja misalnya, Presiden pertama RI Bung Karno yang jumeneng sebagai satrio kinunjaran.
Selama hidupnya sebagian besar waktunya habis di dalam penjara dan
tahanan pemerintah kolonial Belanda. Setelah Soekarno surut, selanjutnya
wahyu keprabon jatuh ke tangan Bu Tien Suharto. Mereka berdua merupakan orang-orang yang memperoleh wahyu keprabon. Khusus untuk Presiden RI yang kedua, wahyu keprabon jatuh pada Bu Tien, tetapi yang menjadi Presiden adalah suaminya. Itu artinya yang memangku derajat pangkat sang suami adalah sang istri. Istri yang kesinungan drajat diistilahkan sebagai “sing mengkoni”
atau yang memangku derajat wibawa dan kemuliaan. Setinggi apapun
kedudukan suami tergantung pada kekuatan spirit sang istri. Maka Pak
Harto serta merta memperoleh drajat-pangkat dan kemuliaan menjadi orang
nomer satu di negri ini. Namun setelah Bu Tien wafat, Soeharto tidak
lagi memiliki pasangan hidup yang memangku wahyu keprabon. Karena wahyu keprabon akan sirna bilamana pemangkunya wafat. Maka semenjak saat itu sirna pula lah wahyu keprabon
sang istri yang selama pemerintahan ORBA menjadi penopang kedudukannya.
Semenjak Bu Tien wafat pancaran wibawa Soeharto menjadi redup dan
diakhiri dengan preseden buruk sejarah dengan lengsernya keprabon Pak Harto dengan cara menyakitkan. Andaikata semenjak Bu Tien wafat pada tahun 1996, Pak Harto menyadari jika wahyu keprabon
istrinya sudah tiada lagi, kemudian Pak Harto menyudahi masa jabatannya
sebelum tahun 1997, tentu saja akan berakhir dengan cara yang lebih
terhormat dan barangkali tidak ada tragedi Mei 1998. Itulah liku-liku
jalan hidup Pak Harto almarhum yang jumeneng sebagai satrio mukti wibowo kesandung kesampar.
Satria yang penuh wibawa sepanjang karier kekuasannya, tetapi berakhir
dengan cara yang tragis disia-sia banyak orang. Semua sudah menjadi
sejarah yang musti diambil pelajaran oleh siapapun yang tergiur duduk di
tampuk kepresidenan.
Sejak saat itu praktis tak pernah ada lagi seorang Presiden yang memangku wahyu keprabon. Tanpa wahyu keprabon,
hampir pasti seseorang tidak akan dapat meraih singgasana kepresidenan.
Jikalau pun dapat menjadi presiden, adalah sebuah pengecualian dan ada
dua kemungkinan ; pertama, ia termasuk pemimpin yang berada dalam masa transisi dan akan terputus di”tengah jalan”. Atau kemungkinan kedua, pola-pola kepemimpinannya telah menempatkan bangsa ini ke dalam siklus kalabendu di mana banyak terjadi musibah dan bencana alam serta bencana kemanusiaan. Satria tanpa wahyu keprabon,
selama masa pemerintahannya sulit untuk dapat meraih kemakmuran dan
kesejahteraan bagi rakyat dan negara yang dipimpinnya. Sebaliknya
beresiko besar periode kekuasaannya menjadi “boomerang” yang berakibat
fatal bagi dirinya sendiri maupun rakyat yang dipimpinnya. Jika memang
harus ada satria tanpa wahyu keprabon, mereka sekedar pengisi
jeda yang bersifat sementara (tumbang di tengah jalan atau hanya
menghabiskan sisa masa jabatan Presiden sebelumnya). Ia termasuk ke
dalam kategori sebagai satria jinumput sumela atur, ibaratnya ia hanya benda kecil yang dipungut dengan ujung jari tangan, dan berfungsi sekedar “intermezo”.
Cukup banyak contoh di mana telah
berulang kali terjadi dalam konstelasi politik negeri ini. Setelah
peristiwa berakhirnya masa kekuasaan Presiden Soeharto, kemudian nasib
serupa dialami Presiden ke tiga BJ Habibie yang hanya meneruskan sisa
masa jabatan Presiden ke dua saja. Beliau tak bisa meneruskan untuk
periode selanjutnya setelah pidato kenegaraannya ditolak mayoritas
anggota legislatif. Selanjutnya Presiden ke empat Abdurrahman Wachid
juga bukanlah Presiden yang memangku wahyu keprabon dan masa
kepemimpinannya hanya berlangsung separoh jalan saja. Dilanjutkan
Presiden Megawati juga hanya menghabiskan sisa-sisa masa jabatan Gus
Dur. Beliau bertiga bukan termasuk penguasa nomer satu yang mendapat
“legitimasi” kekuatan supra. Beliau bertiga merepresentasikan diri
sebagai Satrio Jinumput Sumelo Atur. Jika diumpamakan sebuah
kalimat, beliau bertiga seumpamanya tanda “koma”. Sepadan dengan jeda
“intermezo” dalam suatu rangkaian mata acara. Dalam hal ini adalah jeda
“intermezo” kursi kepresidenan. Jeda yang dimaksud bukan berarti
kekosongan jabatan RI-1 melainkan sebagai penguasa yang melengkapi
proses transisi perjalanan sejarah bangsa.
Lagi-lagi dengan presiden RI ke-enam Bung SBY juga bukan pemangku wahyu keprabon.
Namun SBY berhasil menghabiskan masa jabatan periode pertama
kekuasaanya, dengan “tumbal” ratusan ribu nyawa rakyat Indonesia
melayang akibat nusantara dirundung musibah dan bencana dahsyat. Apabila
dibaca melalui kacamata prediksi nama-nama penguasa RI, terdapat sebuah
akronim yang akrab ditelinga, yakni NOTONAGORO. Banyak orang
mengartikan sebagai bentuk singkatan dari urutan nama-nama Presiden RI.
Diawali dengan Soekarno (No), Soeharto (To), sementara itu kebanyakan
orang masih simpang siur memaknai Na. Ada pula yang mengartikan Na
sebagai akhiran nama Yudayana alias Presiden SBY. Walau terkesan
memaksakan makna, namun kiranya tidaklah terlalu melenceng. Sebab jika
merunut aksara Jawa tidak ada huruf yang di baca dengan vokal a latin. Dalam alphabet Jawa huruf vokal a dibaca dengan suara kombinasi antara huruf a dan huruf o. Dengan demikian Na (vokal alphabet Jawa) kiranya tetap match
dengan akhiran pada nama Yudoyono. Dalam hal ini boleh saja orang
mengartikan bahwa setelah SBY berkuasa kemudian akan terjadi goro-goro (Nagoro).
Ia menjadi presiden setelah pada waktu itu “kejatuhan sampur”. Beruntung (kesinungan kabegjan)
karena ketika SBY “dianiaya” oleh lawan-lawan politiknya, ia tidak
melakukan pembalasan dengan kejahatan serupa. Sebaliknya dia menerimanya
sebagai suatu cambuk untuk meraih kesuksesan yang lebih tinggi. Namun
Pak SBY seumpama pengutang kredit ke bank. SBY mempunyai kewajiban untuk
mengembalikannya diwaktu mendatang. Ketika Pak SBY sudah resmi menjadi
Presiden harus menggenapi “syarat-syarat” melalui jalan spiritual (nggenepi laku) agar supaya wahyu keprabon
dapat diraihnya di masa jabatannya. Namun rupanya hal itu tidak dapat
dilaksanakan semenjak awal periode kepemimpinannya. Alhasil pak SBY
gagal nggenepi laku spiritual. SBY sebenarnya mendapat kesempatan besar untuk nggenepi laku
sejak sebelum dilantik menjadi Presiden dan terutama mulai awal periode
pertama kepemimpinannya. Entah beliau mengerti “kunci-kunci” dan syarat
dalam nggenepi laku ataukah tidak tahu menahu samasekali, atau
malah menyepelekannya dengan menganggap sebelah mata jalan spiritual
yang kudu ditempuhnya. Apapun alasannya, kenyataannya pak SBY tak dapat nggenepi laku
sedari awal. Sebagai konsekuensi logis atas kegagalan itu, alam pun
kemudian menjalankan rumus-rumusnya berupa hukum sebab akibat dengan
begitu transparan dan adil.
Awal masa kekuasaan SBY nusantara ibarat
sedang menghadapi datangnya cuaca buruk, di mana akan banyak terjadi
prahara hujan dan badai, namun Pak SBY tidak membawa payung, tidak pula
membangun tempat berteduh, bahkan tidak melakukan tindakan antisipatif
menghadapi kecamuk prahara yang akan terjadi. Tak ayal lagi bencana dan
musibah datang bertubi-tubi silih berganti menimpa negeri ini sepanjang
karier kekuasaannya. Musibah dan bencana terasa tiada kuasa untuk
diantisipasi atau setidaknya mendapat “dispensasi”. Musibah dan bencana
bukanlah sesuatu yang bersifat kebetulan. Penting untuk dicatat, bahwa
sudah ratusan ribu nyawa melayang akibat musibah dan bencana semenjak
periode kepemimpinan SBY-JK dan SBY-Budiono yang belum genap 7 tahun
ini. Barangkali di antara para pembaca yang budiman ada yang menilai
tulisan ini sebagai upaya menghubungkan hal-hal yang tak ada kaitannya.
Apapun pendapat dan cara pandang orang, sekali lagi, saya menyaksikan
sendiri dengan mata wadag dan mata batin bahwa semua itu
bukanlah suatu hal yang bersifat kebetulan saja. Tampaknya akan sangat
berat bagi Pak SBY menyelesaikan periode ke dua tampuk kekuasaannya.
Bisa melewati tahun 2011 saja sudah cukup lumayan. Kalaupun nanti 2012
harus lengser, dilihat dari hukum sebab akibat semua sudah menjadi suatu
kewajaran, dan tak ada yang istimewa, tidak pula mengagetkan. Perlu
dicamkan dalam-dalam, memang bukanlah kesalahan mutlak SBY namun dia
sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas beres-tidaknya
pengelolaan negara serta nasib rakyat Indonesia. Kiranya beliau belumlah
cukup kuat nyunggi drajat dan tanggungjawab seberat itu.
Apalagi ia berada dalam fase yang memang sungguh berat untuk dilalui. Di
mana situasi dan kondisi negeri yang tengah berada dalam keadaan
sedemikian parah dan bahaya ini, wajar saja butuh seorang figur “nyatriyo” figur yang benar-benar berani berwatak ksatria dan betul-betul kuat menjadi seorang satria. Pemimpin yang tidak berani nyatriyo tentu akan hancur oleh mekanisme hukum alam.
PEMEGANG OTORITAS WAHYU KEPRABON
Entah dari mana asal-usul, bagaimana mahakarya itu dibuat, dan siapa orang pertama yang memiliki wahyu keprabon itu bukanlah merupakan sesuatu yang urgent untuk dibahas di sini. Yang jelas wahyu keprabon
sudah ada sejak ribuan tahun silam di tlatah nusantara ini. Dimiliki
secara turun-temurun dan bergilir secara estafet. Namun siapa pemegang
selanjutnya bukan sekedar ditentukan oleh faktor keturunan dan hubungan
darah semata, lebih dari itu adalah faktor-faktor sebagaimana sudah saya
sebutkan pada alinea pertama dan kedua. Orang yang memenuhi syarat
disebut sebagai orang pinilih, selanjutnya ia akan terpilih (kesinungan) untuk mendapatkan berkah berupa wahyu keprabon. Siapa yang bertugas memilih ? Secara sederhana dapat para pembaca yang budiman dapat menjawab, “Tuhan lah yang memilih!”.
Namun jawaban kamuflase seperti itu terlalu digeneralisir dan tidak
diperlukan di sini. Pertanyaan di atas sepadan dengan pertanyaan, “Siapa
yang memilih Anda sebagai ketua kelas?”. Lucu sekali jika jawabannya “yang memilih adalah tuhan”.
Jika dijabarkan secara lebih detail dan tepat, adalah “media tuhan”
yang memiliki otoritas menentukan siapa orang-orang yang layak menerima wahyu keprabon. Media itu tak lain adalah para karuhun, para pendahulu, leluhur bumiputra bangsa besar ini. Yakni paranata, ratugung binatara yang meraih kamulyan sejati yang telah hidup di dalam wahana kehidupan abadi. Para leluhur yang memiliki otoritas memenej dan mendistribusi wahyu keprabon berlangsung secara estafet. Pada saat ini, pemegang otoritas wahyu keprabon adalah Gusti Ingkang Wicaksana Sri Mangkunegoro ke III atau Pangeran Sapujagad yang sumare di Astana Mangadeg. Itu saja yang saya tahu.
SIMBOL LEGITIMASI KEKUATAN SUPRA
Wahyu keprabon mempunyai makna
sebagai simbol adanya restu dari suatu kekuatan supranatural dalam hal
ini adalah para leluhur besar bumiputra. Siapa pun orang yang telah
memangku wahyu keprabon dipastikan ia sudah memperoleh restu
(legitimasi) yang berasal dari kekuatan supranatural yang melimputi
bangsa besar ini. dapat dikiaskan manusia, lelembut, hewan dan tumbuhan
akan mendukungnya sehingga Nusantara menjadi negeri yang ayom ayem tentrem. Lantas bagaimana caranya agar seseorang dapat kesinungan wahyu keprabon? Yang benar-benar memahami adanya peranan dan otoritas leluhur pun belum tentu kesinungan. Nah, bagaimana mungkin seseorang yang tidak percaya kepada peranan besar leluhur bumiputra bangsa akan mendapatkan wahyu keprabon? Bagaimana pula orang akan bisa kesinungan memangku wahyu keprabon,
sementara pengetahuan spiritualnya saja tak pernah mau beranjak selain
berkutat pada level “kulit” saja. Siapapun yang tidak mau dan tidak
mampu memahami seluk-beluk, apalagi tidak percaya akan keberadaan dan
andil besar wahyu keprabon ini, seyogyanya tak perlu terlalu
berambisi mendapatkan tahta kepresidenan apalagi mau merombak asas
negara sesuai kepentingannya sendiri. Karena segala daya upaya hanya
akan sia-sia belaka. Perlu sekali untuk diingat. Bahwa negara ini mau
dirubah dan dirombak menjadi negara macam mana, tidaklah cukup hanya
mengandalkan perjuangan politik yang melibatkan beaya besar, strategi
maupun manipulasi ideologi. Nusantara bukanlah Eropa, bukan Amerika,
bukan Timur Tengah, bukan China dan Jepang, bukan pula Afrika dan
Australia. Nusantara merupakan bangsa besar dengan segenap tradisi dan
aura spiritual yang berbeda, lain daripada bangsa-bangsa lainnya. Diakui
maupun tidak, merupakan kenyataan bahwa Nusantara dihuni oleh bangsa
yang sangat kental dengan kekuatan spirit dan kekuatan supra. Nusantara
bukan saja menunjukkan suatu zone kepulauan dan zone maritim negara
Indonesia, tetapi melibatkan zona teritorial metafisis di mana terdapat
kekuatan supra yang menyelubunginya. Sebagai konsekuensinya realitas
konstelasi kehidupan politik dengan “konstelasi gaib” saling berhubungan
dan berpengaruh secara kuat.
Legitimasi yang bersumber dari “kekuatan
supra” tak dapat dielakkan dari kancah kehidupan politik bangsa besar
ini. Kenapa bisa begitu? Tentu ada alasan yang sangat kuat, sekalipun
bersifat metafisik namun tetap dapat dijelaskan secara rasional sebagai
suatu ngelmu sejati. Biarpun bersifat gaib, bagi tradisi spiritual local wisdom, ilmu sejati tetaplah berasal dari ngelmu kasunyatan
(ilmu yang nyata berasal dari suatu kebenaran). Kesatuan antara tindak
perbuatan dengan tingkat spiritualitas yang tinggi para leluhur
pendahulu bangsa ini di masa lalu menentukan kecil-besarnya kemampuannya
untuk campur tangan mempedulikan nasib anak turunnya. Itulah bedanya,
antara Nusantara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Bukan sesuatu yang latah dan mustahil
jika prediksi kuno menyebutkan bahwa kelak suatu saat nusantara akan
menjadi mercusuar dunia, baik dalam bidang ekonomi maupun spiritual.
Diakui ataupun tidak, merupakan sebuah realitas tak dapat dipungkiri
nusantara adalah gudangnya ilmu spiritual yang mampu membawa manusia
pada kesadaran spiritual yang tinggi. Eropa, Amerika, dan negara-negara
Skandinavia boleh bangga dengan kelahiran generasi emasnya yakni
anak-anak indigo dan kristal. Tetapi di Indonesia generasi semacam itu
sudah ada sejak ribuan tahun silam. Bahkan kemampuan indigo dan kristal
dapat diupayakan dan dipelajari oleh siapapun yang menghendaki dan mau
membuka pikiran serta menjelajah ranah spiritual yang mahaluas.
Sebaliknya bagi yang memilih mempertahankan pola pikir stagnan, menutup
diri, enggan mengasah batin, dan dipenuhi oleh ketakutan-ketakutan untuk
menjelajah dunia spirit tampaknya hanya akan tergilas oleh dinamika
zaman dan kelak akan menjadi kenangan dunia berupa “fosil kebodohan”
spiritual.
FORMAT ULANG NUSANTARA
Dengan mata kepala sendiri kita dapat
menyaksikan, dan dengan mata hati pula kita dapat merasakan betapa
Nusantara saat kini telah mencapai tingkat kebobrokan mental dan pola
pikir yang sangat akut serta-merta merambah multi dimensi. Jika
diibaratkan sebuah personal komputer, telah terjangkiti berbagai virus
ganas yang meninggalkan sekian banyak bootsector yang merusak harddisk
dan membuat program-programnya mengalami disfungsional. Serangan virus
ganas dari segala penjuru. Virus telah merusak dan melenyapkan sekian
banyak data-data penting yang tersimpan dalam database. Softwarenya pun
telah terkena serangan trojan yang membuat program-programnya mengalami
crash dan kemacetan fungsi-fungsinya. Rasanya sulit sekali menemukan
celah untuk memperbaiki nusantara dengan tingkat kebobrokan sangat parah
ini. Jalan satu-satunya adalah dengan cara “memformat” ulang
harddisknya. Setelah diformat tugas selanjutnya adalah menginstallnya
dengan software baru yang steril dari virus dan fungsinya
bekerja lebih baik. Nusantara sudah semestinya diformat ulang agar
virus-virus ganasnya lebur semua kemudian diisi dengan program software
yang baru oleh generasi baru pula. Musibah dan bencana dengan segala
macam huru-hara politik tidak lain merupakan proses format ulang. Dengan
kata lain pendulum nusantara sedang berayun-ayun keras ke kiri dan ke
kanan untuk selanjutnya pendulum akan diam dan tenang di tengah setelah
energinya selaras dan mencapai titik keseimbangannya.
CAKRA MANGGILINGAN
Mekanisme recycling akan segera
berlangsung di tlatah nusantara. Mekanisme perputaran ulang dan hukum
sebab akibat telah “baku” sebagai hukum alam yang sudah tentu akan
terjadi. Tak bisa lagi diulur-ulur, ditunda apalagi dibatalkan oleh
dahsyatnya money politic. Kita semua tinggal menunggu saatnya
akan segera tiba dan bukan lah waktu yang lama untuk dinanti. Jika
digambarkan dalam lingkaran cakra manggilingan, Nusantara
sedang menuju pada suatu titik akhir sekaligus sebagai titik awal dalam
sebuah putaran cakra. Itu artinya, nusantara yang diawali oleh Kerajaan
Kutai Lama. Setelah diformat ulang selanjutnya nusantara bagaikan
menapak tilas dengan mengulang alur sejarah lama. Itulah sesungguhnya
babak baru sedang dimulai. Yakni terbukanya gerbang “gapura” menuju
Nusantara Jaya. Untuk membuka gerbang “gapura” kejayaan nusantara sudah
sepatutnya negeri ini kembali “napak tilas” dan dipimpin oleh seorang
Ksatria yang berdarah Kutai-Bugis untuk jumeneng sebagai Satria Pambukaning Gapura.
Bukanlah pekerjaan mudah menemukan figur yang memenuhi persyaratan
secara materi maupun moril, secara lahir dan batin, secara fisik dan
metafisik yang mampu jumeneng sebagai Satria Pambukaning Gapura. Tampaknya segala daya upaya tidaklah sia-sia. Setelah melalui proses “laku”
spiritual dan ritual yang panjang guna mengupayakan hal tersebut,
akhirnya kini mulai menampakkan hasil. Sejak bulan September 2009 para
leluhur besar bumiputra berkenan meminjamkan “wahyu keprabon”
kepada seseorang yang berinisial IN dari Nusantara bagian timur. Beliau
adalah seorang berdarah Kutai dengan campuran Bugis yang dalam beberapa
saat ke depan akan jumeneng Satria Pambukaning Gapura
guna meretas jalan menuju Nusantara Jaya sebagaimana idaman banyak
orang. Namun perlu kita waspadai, karena sebelum gerbang “gapura”
terbuka, jagad Nusantara masih akan melalui fase kritis di mana harus
melewati fase goro-goro besar sebagai wujud hukum seleksi alam. Sing sapa lena bakal kena. Sing setiti, ngati-ati, eling lan waspada bakal nemu beja.
GORO-GORO
Para pembaca yang budiman, seluruh
sedulur nusantara di mana pun berada. Mari kita lebih hati-hati dan
waspada dalam hitungan tak sampai 2 bulan ke depan, terutama mulai bulan
pitulungan di tahun kawelasan ini. 07-2011. Dalam
rangka ayunan “pendulum” mencari titik keseimbangan, maka saat ini
nusantara sedang menunju titik nadir. Kini tengah berlangsung suatu fase
waktu yang ditandai oleh terjadinya goro-goro atau dahuru, hera-heru, huru-hara, sindung-riwut, kekisruhan akibat gejolak alam makrokosmos dan gejolak mikrokosmos (manusia). Di saat mana kebodohan spiritual, nafsu angkara dan nafsu keserakahan menjadi panglimanya,
hingga berujung pada bobroknya politik dan moralitas para pengelola
negara. Situasi dan kondisi politik yang kacau-balau membawa dampak
buruk terutama di bidang ekonomi. Bahkan tidak menutup kemungkinan dapat
menjalar menjadi konflik bersifat horisontal antar sebagian rakyat
dengan sebagian yang lainnya. Goro-goro bukan sekedar
kekisruhan politik karena di dalamnya ada pengaruh aura misterius berupa
kekuatan supra yang begitu sakral dirasakan oleh sebagian orang waskita dan permana. Namun apapun situasi dan kondisi yang akan terjadi masih ada secercah harapan, di mana goro-goro merupakan bagian dari mekanisme kehidupan menuju ketentraman dan kedamaian di hari esok.
Tulisan ini bukan untuk intimidasi
apalagi memprovokasi. Harapan saya agar supaya sebisa mungkin kita semua
selamat dan menjadi orang-orang beruntung. Dan tidak menjadi bagian
dari orang-orang yang harus terkena seleksi alam tergilas oleh dinamika
zaman. Dipungkiri atau tidak kini jarum jam Nusantara sedang menuju pada
fase terjadinya goro-goro besar. Bahkan hanya tinggal menghitung hari. Kita semua seyogyanya lebih eling dan lebih waspada memasuki bulan PITULUNGAN (7) di tahun KAWELASAN (2011) ini. Goro-goro
merupakan muara atas gejolak alam dan gejolak manusia selama periode
kepemimpinan SBY. Dimulai dengan rentetan bencana besar disertai
berbagai musibah kecelakaan laut, udara, dan darat terjadi silih
berganti tiada henti. Wabah hama misterius dan pagebluk
berbagai macam penyakit, mahal dan kurang sandang-pangan, paceklik dan
gagal panen karena tetumbuhan sulit hidup dan berbuah. Bersamaan dengan
itu muncul berbagai fenomena alam yang penuh keanehan sekaligus
menakjubkan serta membawa sejuta tanda tanya di dalam benak manusia. Ada
apakah gerangan atas semua ini ?
Setelah “pendulum” berayun ke kiri dan ke
kanan membuat rakyat carut-marut, pontang-panting, kisruh, angkara
bergemuruh di dada manusia. Kini “pendulum” yang ada di jagad nusantara
sedang mencari titik keseimbangannya sendiri. Dalam proses mencari titik
equilibrium, tentu saja akan terjadi sistem seleksi alam secara ketat.
Dan hukum alam begitu jeli dan tegas bertindak sehingga tidak akan
pernah menyisakan secuil pun ketidakadilan.
Orang-orang yang mau berharmoni dengan
hukum alam serta mampu menyelaraskan diri dengan hukum keseimbangan alam
yang akan masuk seleksi diterima oleh alam semesta. Dengan kata lain
diijabah oleh tuhan. Jika ia menjadi penguasa, rakyat dan negaranya akan
berkelimpahan berkah dan anugrah. Sebaliknya perilaku dan perbuatan
manusia yang selalu bertentangan dengan hukum alam dengan sendirinya
akan tergilas oleh roda dinamika zaman. Orang-orang yang tergilas oleh
hukum keseimbangan alam dan dinamika zaman akan merasakan implikasi
negatif dalam berbagai bentuk, secara langsung maupun tidak langsung.
Dapat berupa tertimpa berbagai macam penderitaan lahir, maupun
penderitaan batin, hingga terjadinya kematian. Lebih celaka lagi karena
ragam penderitaannya bukan dimanfaatkan sebagai sarana instrospeksi dan
koreksi diri atas segala kesalahannya selama ini. Sebaliknya ia tetap
besar kepala dan tinggi hati dengan menganggapnya sebagai cobaan bagi
orang yang beriman karena ia disayang tuhan.
Kita semua tidak perlu buang-buang energi
dengan merasa terpancing emosinya menyaksikan kenyataan obyektif di
atas. Sebab konsekuensi hukum alam terutama hukum sebab akibat akan jauh
lebih bijaksana melaksanakan “eksekusi” ketimbang ulah manusia berlagak
eksekutor yang terpolusi nafsu angkara murka. Sekalipun angkara
disembunyikan rapat-rapat di balik “rezim” ketuhanan, tetap saja akan
tampak dari ulah, perilaku dan perbuatannya yang mudah dibaca secara
kasat mata. Secara garis besar, keselamatan hanya dapat diraih dengan
cara eling dan waspada, yang berarti pula seseorang (jagad mikro) musti bertingkah-laku selaras dan harmonis dengan rumus-rumus dan hukum jagad makro.
Keselarasan itu diraih apabila hidup kita bermanfaat bagi seluruh
makhluk tanpa kecuali. Kebaikan dilakukan dengan ketulusan hati dan
tidak pilih kasih hanya berdasarkan soal SARA. Harmoni akan terwujud
apabila manusia menyadari bahwa tanggung jawab terbesar hidup di dunia
ini adalah untuk saling memberi dan menerima kasih sayang (welas asih)
antar seluruh makhluk. Lakukan dan kemudian rasakan serta buktikan
efeknya akan sungguh besar bagi kesuksesan, kemuliaan, dan keselamatan
hidup Anda semua. Karena hanya dengan cara demikian itu, para pembaca
yang budiman akan dapat membangun “pagar gaib” yang teramat kokoh. Tak
bisa ditembus oleh kekuatan jahat manapun, tak bisa dicelakai oleh
siapapun juga, dan tidak akan tergilas olah hukum keseimbangan alam.
Kesuksesan lahir dan batin menjadi milik Anda.
Kita semua adalah wujud mikrokosmos, mau
tidak mau harus selalu menyelaraskan diri dan berharmonisasi dengan
kodrat alam. Sekalipun hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan.
Terutama untuk saat ini, di mana justru kian banyak orang dengan
latahnya melawan kodrat alam. Yakni cenderung golek benere dewe, golek butuhe dewe dan golek menange dewe.
Banyak orang merasa bangga dengan kebodohannya sendiri yang tidak
mereka sadari. Oleh sebab itu untuk melepaskan diri dari kolonialisme
kebodohan, modal utamanya adalah kesadaran spiritual yang memadai agar
menjadi manusia dengan kesadaran jati diri dan memiliki bentangan luas
kesadaran kosmologis. Menjadi manusia dengan kesadaran kosmologis akan
memudahkan terjadinya penyelarasan dan harmonisasi dengan kodrat alam.
Sudah merupakan keharusan kodrat alam, menjadi manusia yang mampu
menjaga keselarasan dalam berinteraksi dan membangun hubungan harmonis
dalam komunikasi dengan alam semesta beserta seluruh penghuninya. Baik
terhadap yang tampak maupun yang tak tampak oleh mata wadag.
Para pembaca yang budiman, memasuki fase
kritis transisi dan dinamika zaman ini marilah kita sama-sama belajar
untuk lebih hati-hati dalam segala ucapan dan tindakan. Sebab dalam
masa-masa transisi fisik (lahir) dan transisi metafisik (batin), hukum
sebab akibat akan berlangsung lebih cepat, ketat, dan spontan
terjadinya. Para pejabat dan politikus nasional tak perlu sesumbar
menantang-nantang orang lain untuk potong leher jika sampai SBY lengser
di tengah periode kepemimpinannya. Sebab jika peristiwa itu benar-benar
terjadi, maka hukum keadilan alam akan menagih janji atas apa yang
pernah diucapkannya. Apa mau dikata bila SBY benar-benar lengser di
pertengahan 2012? Jika lehernya tidak ia potong sendiri, maka nasibnya
lah yang akan “memotong” kehidupannya. Siapapun tak akan bisa luput dari
hukum keadilan alam. Sing sapa nggawe bakal nganggo. Sing sapa nandur bakal ngunduh.
Si pembuat bakal merasakan perbuatannya sendiri. Siapa menanam akan
mengetam, maka marilah kita tanam segala sesuatu yang baik dan
bermanfaat agar kita mengetam anugrah dan kebaikan pula.
Toh…mau dicegah dengan cara bagaimanapun juga, kurang lebih hanya 11 hari setelah mulai goro-goro, Pak Budiono memilih resign
dan kehormatannya pelan-pelan akan pulih jika beliau memilih untuk
kembali sebagai kaum akademisi dan berbagi ilmu. Pulang kampus dan
menjadi civitas akademika merupakan tempat dan peranan yang tepat di
mana beliau dapat mengabdikan hidupnya bagi seluruh makhluk. Dengan
pilihan tersebut Pak Budiono akan menemukan kembali kehormatannya
sebagai kaum intelektual.
SATRIA PAMBUKANING GAPURA
Satria Pambukaning Gapura bukanlah Ratu Adil Herucakra. Dia seorang kesatria yang bertugas membuka jalan atau pintu gapura Nusantara. Saat ini gerbang gapura menuju era Kejayaan Nusantara masih tertutup rapat. Menunggu saatnya tiba ada seseorang yang mampu jumeneng sebagai Satria Pambukaning Gapura. Tentu saja seorang kesatria yang pinilih (pilihan) dan terpilih menerima wahyu keprabon
yang akan menjadi panglima dalam melakukan memformat ulang Nusantara.
Pada prinsipnya Nusantara butuh seorang kesatria, soal kedudukan menjadi
RI-1 atau RI-2 bukanlah masalah. Yang terpenting satu di antaranya
adalah seorang kesatria yang mendapatkan wahyu keprabon. Tanpa wahyu keprabon,
siapapun hampir mustahil mendapat kesuksesan dalam upaya berbenah di
negeri yang sakit parah ini. Dan seorang calon kesatria Sangkulirang
berinisial IN dari Borneo bang-bang wetan, kini mobilitas vertikalnya kian tampak. Walau sudah menerima wahyu keprabon, bukan tidak mungkin wahyu keprabon-nya dijugar alias dicabut kembali oleh “pemegang otoritas”. Oleh sebab itu kesatria tersebut masih harus “nggenepi laku” atau menggenapi langkahnya agar benar-benar lulus “uji emisi”. Saat ini ia masih dalam “pertapaannya” untuk menjalani laku tapa ngrame. Ramai
atau giat dalam menolong membantu sesama, giat membangun negri, selalu
berpihak kepada kebenaran, melindungi yang lemah, dan mengutamakan
kepentingan bangsa. Namun semua dilakukan tanpa pamrih (ber-tapa). Beliau masih menjalani masa-masa gemblengan hidup di dalam “kawah candradimuka”.
Guna meraih kesadaran spiritual tinggi agar supaya dapat lebih memahami
apa itu sejatinya hidup dan kehidupan sebagai bekal menata kehidupan
Nusantara. Semua berlangsung cepat dan efektif, karena jadwalnya untuk
bertugas membuka gerbang gapura sudah semakin dekat.
Meskipun demikian pemangku wahyu keprabon tidak bertugas untuk jumeneng sebagai RI-1. Beliau bertugas mengkoni/hamengku (memangku) bumi Nusantara, dan tetap menjalani laku tapa ngrame selama masa kepemimpinannya. Beliau lebih mengutamakan tugas-tugasnya daripada jabatan prestisius menjadi RI-1. Secara de jure sosok Satria Pambukaning Gapura akan menjabat sebagai RI-2 tetapi secara de facto dan secara spiritual beliaulah orang nomer 1 yang hamengku Nusantara. Untuk itu sosok Satria Pambukaning Gapura perlu partner seseorang yang secara de jure
ditugaskan mengisi tahta RI-1. Namun bukan sembarang orang tentunya,
karena harus seseorang yang pas dan kompak, dapat seiring dan sejalan,
memiliki visi dan misi yang sepadan untuk menjalankan tugas-tugas dan
tanggungjawab dari Satria Pambukaning Gapura. Namun demikian orang yang akan menjadi partner Satria Pambukaning Gapura tidak harus seseorang yang memperoleh wahyu keprabon, karena wahyu keprabon hanya diterima oleh satu orang saja. Artinya wahyu keprabon di Nusantara hanya ada satu, dan tidak dapat digandakan.
Harapan saya semoga sosok Satria Pambukaning Gapura sukses dalam menjalani masa-masa penggemblengan ini. Suatu waktu sudah siap jika selambatnya bulan 3 tahun 2012 harus tampil dalam tugasnya hamengku dan hamemayu Nusantara. Dan semoga beliau selalu disiplin dalam memegang prinsip, disiplin dalam “nggenepi laku”. Dan yang paling utama harus selalu setia kepada para leluhur bumiputra serta tidak menghianatinya. Supaya tidak kuwalat dan dijugar wahyu keprabon-nya, jangan sampai menjadi “kacang yang melupakan kulit”. Menjadi tamu mbagekake sing duwe omah atau malah tamu menjajah tuan rumah. Sebaliknya wahyu keprabon akan tetap berada menyelimuti mahkotanya, selama beliau dinilai mampu hamemayu nusantara, selalu setya budya, dan konsisten dalam upaya njejegake soko guru bangsa.
Lantas kapan Ratu Adil akan giliran bertugas membawa nusantara ke puncak kejayaannya ? Tentu saja belum sekarang ini waktunya ! Nusantara masih harus melewati masa-masa sileme prahu gabus.
Terjadinya segala sesuatu yang tak mungkin terjadi. Nusantara pun masih
akan melewati saat kebangkrutan ekonomi paling parah sepanjang sejarah
bersama bangkrutnya ekonomi dunia, yakni tahun 2012. Sang Ratu Adil
masih lama untuk dinanti saat ini. Namun hendaknya kita semua tak perlu
pesimis. Adalah tugas kita semua generasi penerus bangsa untuk memulai
berbenah diri atas carut-marut negeri ini, bersama-sama, bahu-membahu
untuk membuka gerbang nusantara menuju era kejayaannya. Sebentar lagi
kita semua akan berada dalam fase baru di mana harapan baru mulai
bersemi kembali. Dipimpin sang Satria Pambukaning Gapura menyelamatkan
nusantara, dan si kecil calon Ratu Adil secara diam-diam telah berperan
besar atas semua itu. Tentu saja bukan saya, karena saya hanya rakyat
jelata yang sekedar ingin berpartisipasi membangun bangsa dan
menyelamatkan nusantara, seperti halnya yang Anda para pembaca budiman
lakukan untuk negeri ini.
PARTNER SATRIA PAMBUKANING GAPURA
Bagaimana gambaran seorang partner yang diperlukan oleh Satria Pambukaning Gapura?
Tentu saja ia haruslah banyak kelebihan dan yang utama mampu dan mau
untuk saling mengisi dan melengkapi dengan parternya yakni Satria Pambukaning Gapura. Untuk memudahkan gambaran kiranya figur Satria Lola Nestapa akan lebih pas berpasangan dengan Satria Pambukaning Gapura. Karena ia terbiasa hidup lola dan nestapa diharapkan mampu mengimbangi spirit tapa ngrame yang dijalani oleh Satria Pambukaning Gapura.
Jika dilihat dari stok capres mendatang yang ada pada saat ini, rasanya
kita begitu pesimis. Terlalu sulit untuk menentukan siapa yang paling
layak menjadi RI-1?! Jika boleh saya membuat anekdot, saya katakan jika
Anda bingung menentukan Capres, urutkan dari yang nilainya buruk hingga
yang buruk sekali. Pilih saja Capres yang buruk ! Karena negara tanpa
Presiden akan jauh lebih buruk ketimbang dipimpin Capres yang paling
buruk.
Menurut hemat saya, adalah seorang mantan jendral berinisial PS yang paling layak BERPASANGAN dengan Satria Pambukaning Gapura alias menjadi RI-1. Nilai minusnya, meski popularitasnya kesohor namun di mata rakyat trackrecordnya
tidak begitu menggembirakan terutama dalam hal Hak Asasi Manusia, dan
tindak kekerasan politik. Dari sisi kehidupan berkeluarga pun dapat
dikatakan kurang sukses. Namun banyak pula nilai plusnya yang tentu tak
perlu saya koreksi di sini. Yang paling penting, asalkan PS mau menempuh laku spiritual yang pas dan pener
(tepat) sehingga terbuka jalan menuju ke arah sana. Dengan turunnya
ijin dan restu dari para leluhur besar bumi putra dan para perintis
bangsa di masa lalu. Jika samasekali tidak mempercayai peranan kekuatan
supra tersebut, dapat dipastikan tidak akan berhasil membuka jalan
menuju RI-1. Ini bukan urusan misteri, dan bukan mutlak urusan tuhan.
Melainkan urusan ngelmu kasunyatan, masih dalam kerangka usaha manusia dan semua yang hidup, termasuk yang hidup sudah tanpa raga untuk bertanggungjawab
memperbaiki bobroknya negara yang kian akut. Kita semua yang hidup, tak
sopan jika menyerahkan semua kepada tuhan. Tuhan bukan kambing hitam,
bukan pula obyek penderita. Tuhan tidaklah menentukan diri kita memilih
kejatahan. Manusia telah diberi kekuasaan untuk memilih mau menjadi baik
atau jahat, memilih mau berusaha atau berpangku tangan menunggu durian
runtuh dari langit. Sedikit-sedikit mengucapkan kalimat, “hanya Tuhan lah yang mahatahu”
lebih terasa sebagai menunggu durian runtuh dari langit. Bahkan terasa
sebagai bentuk pelarian atas ketidaktahuan, ketidakmampuan, serta
kemalasan manusia untuk mencari tahu. Boleh saja kalimat itu kita
endapkan dalam benak, namun menjadi takut untuk tahu terhadap
segala hal-hal yang masih misteri adalah sikap fatalis yang sangat tidak
konstruktif dalam membangun kehidupan yang lebih baik.
Sebuah plus-minus memang selalu ada dan
hal itu wajar saja terjadi pada siapapun tanpa kecuali asal ia masih
makhluk bernama manusia. Yang paling penting bagi siapapun adalah mau
mengoreksi diri, mau mendengar dan menerima kritikan sepedas apapun, mau
menyadari segala kesalahan dan kekurangannya, mau meminta maaf kepada
yang pernah dizaliminya. Dan setelah itu mau dan mampu belajar untuk
memperbaiki apa yang salah di masa lalu, untuk selanjutnya benar-benar
mengimplementasikan kesadaran barunya dalam tindakan yang konkrit.
Sewajarnya menjadi orang yang lebih bijak dan arif di waku-waktu
mendatang. Bagi kita semua rakyat, tidak perlu terlalu mengkultuskan
siapapun supaya penilaian kita tetap obyektif, pikiran kita tetap tajam,
dan mata kita tetap awas. Ojo gumunan lan kagetan!! Juga
jangan menjadi pribadi yang reaksioner dan emosional. Jangan menyakiti
hati, jangan menciderai, jangan mencelakai orang lain. Sebaliknya kita
membutuhkan kematangan mental. Supaya ketenangan dan kebijaksanaan tetap
menjadi ujung tombak dalam setiap sikap dan tindakan yang akan kita
lakukan. Begitulah keselamatan dan berkah akan selalu menaungi kehidupan
kita, para pembaca yang budiman silahkan membuktikan sendiri !!
Rahayu, rahayu, rahayu selalu menaungi para pembaca yang budiman, dan seluruh sedulur Nusantara, titah yang agal maupun yang halus. Semoga anugrah dan berkah selalu berlimpah dalam kehidupan Anda semua dan keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar